Hampir 62 tahun, bangsa yang besar ini mulai merangkak, dan hendak mencoba berlari. Kenyataan pedih yang menghadang langkah tak membuat bangsa ini berhenti dan mengeluh. Fenomena sosial politik silih berganti meniupkan ruh kehidupan berbangsa yang dinamis. Kebhinekaan budaya dan latar belakang-serta kepentingan- membuat jalinan yang harusnya jauh lebih kukuh, menjadi terkesan rapuh. Bukan perekat yang bermasalah, namun si penyusun yang enggan untuk merelakan batasan bernama “egoisme pribadi/kelompok” untuk menerima perekat itu menyatukan mereka. Anugerah alam yang melimpah di seluruh pelosok negeri hanya menjadi cerita penenang tidur, sampai si anak negeri terbangun di kemudian hari dan menyadari akan ketertinggalan yang semakin hari semakin jauh.
Berjuta kenyataan pahit yang tak kunjung berhenti terus mendera bangsa ini. Kepekaan yang kian jauh dari setiap tindakan anak negeri. Melihat nyawa-nyawa melayang untuk kesewenang-wenangan dan kekuasaan. Menipu sesama manusia bahkan saudaranya sendiri adalah suatu kelumrahan yang hendaknya dimaklumi. Biasa saja menyaksikan si miskin memakan sisa makanan di kala 50 meter dari tempat itu limpahan makanan tersisa di piring si kaya. Atau si miskin yang berjalan terik diantara debu serta sisa pembakaran kendaraan bermotor penuh racun, biaa saja bila ada sebuah mobil mewah melintas bahkan tak menoleh sedikitpun. Semakin biasa saja melihat ketimpangan yang membuat siapapun, yang dahulu membangun negeri ini, akan menarik nafas berat.
Komentar Terbaru